Tinjauan Teoritis Seks Pranikah

Seks Pranikah :

by Zoya Amirin, M.Psi

Pernah gak dengar istilah seks pranikah? Kayaknya istilah ini bukan istilah yang asing lagi di telinga masyarakat zaman sekarang. Tapi sebenarnya apa sih artinya seks pranikah itu sendiri? Sebelum kita menggunakan istilah dengan salah, kita kenali dulu yuk apa sih sebenarnya seks pranikah itu dan kenapa sih itu bisa terjadi.

Seks pranikah atau bahasa kerennya premarital seks menurut Hyde (1990 dalam Pingkan 2005) adalah hubungan seks yang dilakukan sebelum menikah. Kayaknya pengertian ini bisa dilihat dari kata itu sendiri dimana pra artinya sebelum dan seks di sini berarti hubungan seksual. Nah menurut beberapa penelitian, salah satu penelitian terkini yaitu seks survey dari yayasan DKT (dilakukan pers conference 5 desember 2011) 39% remaja 15-19 tahun sudah melakukan hubungan seks pertamanya. seks pranikah ini sering sekali terjadi pada orang yang berada dalam tahap remaja. Kenapa bisa banyak terjadi pada remaja? Karena menurut Papalia (2003), tahap remaja adalah tahap awal perkembangan dimana seorang manusia mulai aktif secara seksual artinya ia sudah matang dan mampu untuk bereproduksi, yang ditandai dengan terjadinya masa pubertas. Sering gak sih dengar orang bilang lagi masa puber? Nah di remaja inilah tahap itu terjadi dimana ada tahap transisi dari anak-anak menjadi dewasa dan berkisar antara usia 11 atau 12 tahun sampai awal 20 tahun (Papalia, 2003). Masa puber ditandai dengan mimpi basah pada pria dan menstruasi pada wanita. Kok bisa sih remaja dikaitin sama perilaku seks pranikah? Nah dalam Papalia (2003) itu juga dijelasin kalau tahap remaja dan perilaku seksual merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan karena perkembangan seksual merupakan bagian yang harus mereka jalani ketika mereka mengalami pubertas, dengan menjadi seksual aktif maka si hormon di tubuh membuat remaja memiliki ketertarikan seksual pada individu lain secara seksual juga.
Namun Papalia (2003) juga mengatakan dalam tahap ini seseorang belum mengalami perkembangan kognitif dan emosi yang sempurna sehingga seringkali remaja cenderung mengikuti hasrat ketertarikan seksualnya tanpa pertimbangan yang lebih bijaksana. Pertimbangan yang bijaksana relatif akan diambil jika si remaja well inform atau memiliki informasi yang sesuai untuk menjalani masa remaja dan mensikapi hasrat seksualnya yang secara alami sudah ada.
Selain hasrat seksual yang cukup tinggi dirasakan oleh remaja pada masa transisi, umumnya perilaku seks pranikah terjadi pada masa remaja karena seseorang belum menikah pada tahap ini. Karena saat orang sudah menikah, tidak lagi disebut sebagai seks pranikah. Nah, sebelumnya sudah dijelasin kalau kombinasi kognitif, emosi, dan hasrat seksualnya belum berjalan dengan baik. Karena perubahan hormonal dalam tahap ini, hasrat seksual dipadu dengan emosi yang masih labil dan kurangnya nalar maka hasrat tersebut disalurkan begitu saja tanpa berpikir jauh sehingga meningkatkan terjadinya hubungan seks pranikah yang beresiko terhadap kehamilan yang tidak diinginkan, infeksi menular seksual dan HIV AIDS. Dengan perubahan zaman sekarang, perilaku seksual pranikah akhir-akhir ini semakin umum dilakukan.Hal ini terlihat dari banyaknya pembahasan artikel di Koran dan penelitian terhadap beberapa remaja. Tapi sebenarnya kenapa sih seks pranikah itu bisa terjadi? Menurut Nirmadyani (2005), penyebab terjadinya hubungan seks pranikah antara lain :
1. Kematangan seksual yang terlalu cepat
2. Penundaan usia pernikahan
3. Libido seksualis
4. Stimulasi-stimulasi dari media massa
5. Peningkatan teknologi reproduksi
6. Tersedianya sarana dan prasarana
7. Pengaruh obat-obatan terlarang dan alkohol
Jadi bukan seperti yang diduga kebanyakan orang bahwa seks pranikah akibat gaya kebarat-baratan. Tetapi kecenderungan melakukan seks pranikah bisa terjadi baik untuk orang timur sedemikian juga mereka yang di barat jika mereka sudah aktif secara seksual.
Selain penyebab-penyebab di atas, ada beberapa pembahasan lebih jauh tentang perilaku seksual berdasarkan penelitian terhadap sejumlah remaja. Apa aja sih penyebabnya? Yuk, kita cek lebih lanjut.
Kalau menurut Pingkan (2005), perilaku seks pranikah juga dapat dikaitkan dengan sikap seseorang terhadap perilaku tersebut. Apa sih yang dimaksud dengan sikap? Sikap adalah evaluasi dari berbagai aspek dari dunia sosial (Baron & Byrne, 2004 dalam Pingkan, 2005). Jadi dalam sikap ini ada unsur penilaian. Nah, Pingkan ini dalam penelitiannya mengenai pandangan kelumrahan dan sikap terhadap hubungan seks pranikah pada dewasa muda menyatakan bahwa partisipan penelitian mamandang hubungan seksual merupakan hal yang lumrah dalam kehidupan mereka sehari-hari. Kenapa bisa? Karena dalam penelitian tersebut 60% subjek mengatakan bahwa perilaku seks pranikah lumrah dilakukan pada masa sekarang. Pandangan kelumrahan ini dikarenakan sebagian besar responden memiliki teman, keluarga, atau tetangga yang melakukan hubungan seksual di luar nikah. Namun, masih banyak juga responden yang menyatakan bahwa perilaku seks pranikah merupakan hal yang tidak wajar.
Dalam penelitian tersebut, ada korelasi sebesar 0,306 antara pandangan kelumrahan dengan sikap terhadap perilaku seksual pranikah. Hasil ini menunjukkan bahwa adanya hubungan antara pandangan lumrah terhadap sikap orang terhadap perilaku seks pranikah. Dimana seharusnya orang yang memiliki pandangan kelumrahan mempunyai sikap biasa saja terhadap perilaku seksual pranikah. Namun, penelitian ini menyatakan tidak ada signifikansi dari kedua variabel tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada hubungan yang linear antara kedua variabel tersebut dimana pandangan kelumrahan terhadap perilaku seksual pranikah tidak mempengaruhi sikap seseorang terhadap perilaku seks pranikah tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa seseorang dapat memandang perilaku seks pranikah sebagai sesuatu yang wajar, namun mereka sendiri menilai atau memiliki sikap negatif terhadap perilaku seks pranikah. Dalam penelitian ini disebutkan beberapa alasan. Alasan yang sering ditemukan adalah dosa, masih mengingat Tuhan, ingin menjaga keperawanan, dan tidak ingin mencemarkan nama baik keluarga. Hanya sedikit yang mengungkit resiko hubungan seks, seperti penyakit menular. Hal ini menunjukkan bahwa norma agama dan norma sosial masih memegang peranan yang penting dalam penilaian terhadap hubungan seks pranikah. Menariknya dalam sex survey 2011 DKT Indonesia, sebagian besar remaja yang melakukan hubungan seks pranikah lebih takut hamil dibandingkan takut dosa. Nilai dan norma agak sedikit berbeda dengan penelitian Sarwono 1985, dimana remaja yang melakukan hubungan seksual lebih takut dosa dibandingkan mereka yang belum melakukan hubungan seksual.
Sikap seseorang terhadap perilaku seksual pranikah juga dipengaruhi oleh sexualideology yang dimiliki seseorang. Ideologi seksual apa sih? Ideologi (Fitriani, 2005) adalah pendirian. Berarti sexual ideology adalah pendirian seseorang terhadap perilaku seksual. Orang yang memiliki ideologi liberal memiliki pengalaman hubungan seksual yang paling banyak sebelum menikah. Bentuk ideologi merupakan dasar untuk kontrol diri dimana standar individu mendefinisikan tipe hubungan itu sendiri, dalam hal ini hubungan yang didasari komitmen emosional, yang dibutuhkan sebelum terjadi tingkah laku yang tepat (Fitriani, 2005). Berdasarkan hasil penelitian DeLamater dan MacCorquodale (dalam Fitriani, 2005), ada 4 hal yang menyebabkan terbentuknya sexual ideology, yaitu:

1.    Orang tua dan keluarga. Kualitas hubungan remaja dan orang tua sangat mempengaruhi ideology seseorang (Brooks-Gun & Furstenberg, 1989 dalam Fitriani, 2005), dimana remaja yang merasa hubungan dengan orang tuanya baik memiliki kemungkinan hubungan seks pranikah yang lebih kecil dibandingkan dengan remaja yang hubungan dengan orang tuanya buruk (Jesson & Jesson, 1977; Inazu & Fox, 1980 dalam Fitriani, 2005). Orang tua remaja yang sangat permisif atau otoriter juga turut mempengaruhi perilaku seksual pranikah (Hogan & Katigiwa, 1985; Miller et al., 1986 dalam Fitriani, 2005). Ketika orang tua terlalu membebaskan (permisif), anak jadi sesuka hatinya sehingga anak merasa perilaku seks pranikah bukanlah hal yang menjadi masalah. Di sisi lain, ketika orang tua terlalu mengikat (otoriter), maka anak akan merasa tertekan dan mencari cara untuk melampiaskan rasa tertekannya dalam penyaluran hasrat yang tidak benar melalui seks pranikah.

2.    Teman dekat/peer. Kenapa bisa? Remaja merupakan masa dimana seseorang memiliki hubungan yang sangat dalam dengan temannya dibandingkan dengan orang tua. Tidak mengherankan jika remaja yang memiliki teman-teman yang sudah pernah melakukan sexual intercourse akan lebih mudah melakukan sexual intercourse dengan sendirinya (Sack et al., 1984 dalam Fitriani, 2005).

3.    Pasangan kencan/pacar. Karena belum dapat berpikir dengan matang, remaja mudah terseret oleh ajakan teman ataupun pacar. Ketika pacar mengajak untuk melakukan hubungan seksual, remaja berpikir bahwa melakukan intercourse sebagai tanda kedewasaan, jalan seorang gadis untu memberi hadiah pada pacar sebagai tanda keloyalan, ataupun cara untuk menghukum orang tuanya (Sack et al., 1984 dalam Fitriani, 2005).

4.    Agama/kehidupan religius. Menurut hasil penelitian Sarwono (1985 dalam Fitriani, 1985), remaja yang tidak atau telah berhubungan seksual sama-sama percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa. Remaja yang belum melakukan hubungan seksual memiliki persentase ibadah secara teratur yang lebih tinggi (90% : 65%), namun dalam persentase takut dosa, remaja yang sudah melakukan hubungan seksual memiliki persentase lebih tinggi (100% : 90%).

Penelitian yang dilakukan Fitriani (2005) dengan mewawancarai dua orang pria remaja akhir yang telah melakukan hubungan seks pranikah menunjukkan bahwa ideologi awal mereka dipengaruhi oleh orang tua dan keluarga. Namun ketika mereka beranjak remaja, ideologi mereka lebih dipengaruhi oleh teman (peer) ataupun pasangan kencan (pacar).

Mawati (2005) mengenai perbandingan sikap permisif terhadap perilaku seksual pranikah antara laki-laki dan perempuan menyatakan bahwa adanya perbedaan antara laki-laki dan perempuan dalam hal perilaku seks. Penelitian ini mengkhususkan dalam hal sikap permisif antara laki-laki dan perempuan terhadap perilaku seks pranikah. Sikap permisif itu apa ya? Menurut Schofield (dalam Mawati, 2005), sikap permisif didefinisikan sebagai sikap memperbolehkan terjadinya suatu tindakan atau kegiatan tertentu. Akhir-akhir ini pandangan mengenai perilaku seks pranikah sudah berubah, dimana perilaku seks pranikah sudah dianggap sebagai sesuatu yang lebih bebas. Mawati (2005) menyatakan bahwa ada yang harus diperhatikan mengenai perubahan pandangan tersebut. Pertama, bukan hanya remaja saja sekarang yang lebih toleran terhadap perilaku seksual pranikah tersebut, bahkan orang dewasa juga sudah lebih permisif terhadap seks pra nikah  tersebut. Sikap permisif yang ditunjukkan orang dewasa ini terhadap perilaku seks pranikah menunjukkan bahwa masyarakat juga telah mengubah cara pandangnya mengenai perilaku seks. Kedua, remaja yang lebih permisif terhadap hubungan seks pranikah tidak berarti mengarahkan perilakunya menjadi amoral atau pun melakukan hubungan seks beresiko- sembarangan , karena menurut remaja keterlibatan emosi dalam sebuah hubungan seks lebih penting dibandingkan dengan menikah (Steinberg, 1993 dalam Mawati, 2005).

Mawati (2005) menyatakan bahwa jenis perilaku seksual memiliki tingkatan yang berbeda dalam aktivitasnya. Menurut Reiss (dalam penelitian Mawati, 2005) ada tingkatan tingkah laku seksual, yaitu:

1.    Berciuman (kissing), mulai dari sekedar kecupan (light kissing) sampai French kissing.

2.    Bercumbuan (petting), dimana aktivitas seksual antara pria dan perempuan yang lebih dari sekedar berciuman atau berpelukan yang membangkitkan gairah seksual, namun belum melakukan hubungan kelamin. Aktivitas petting ini melibatkan sentuhan dan manipulasi daerah erogenous pasangan seperti menyentuh payudara pasangan perempuan atau alat kelamin pasangan.

3.    Berhubungan kelamin (coitus), dimana ada kontak antara penis dan vagina, juga terjadi penetrasi penis ke dalam vagina.


Tahapan di atas menggambarkan kalau perilaku seksual tidak hanya terbatas pada berhubungan kelamin.Berhubungan kelamin hanya merupakan salah satu dari berbagai jenis perilaku seksual, meskipun tujuan akhir dari perilaku seks itu adalah hubungan kelamin.

Hasil penelitian Mawati (2005) menyatakan bahwa tingkat permisivitas laki-laki terhadap perilaku seks pranikah lebih tinggi dibandingkan perempuan dimana laki-laki memiliki rata-rata tingkat permisivitas sebesar 3,6 dan perempuan memiliki rata-rata 3. Rentang kisaran nilai laki-laki juga lebih tinggi daripada perempuan dimana laki-laki memiliki range sebesar 4,7 yang berkisar antara 1,3-6 sedangkan perempuan hanya memiliki range sebesar 2,9 yang berkisar antara 1,9-4,8. Hal ini menunjukkan bahwa laki-laki lebih memperbolehkan terjadinya perilaku seksual dibandingkan perempuan. Selain itu, penelitian ini juga menunjukkan bahwa kegiatan seksual yang dilakukan laki-laki lebih bervariasi dibandingkan dengan perempuan dimana kegiatan laki-laki meliputi tujuh kegiatan seksual, seperti berpegangan tangan, berciuman, berpelukan, manipulasi payudara, manipulasi kelamin di atas pakaian, manipulasi kelamin di bawah pakaian dan berhubungan kelamin. Sedangkan perempuan hanya meliputi tiga kegiatan seksual, seperti berpegangan tangan, berciuman, dan berpelukan. Namun, responden penelitian cenderung tidak setuju ketika aktivitas seksual yang dilakukan terkait dengan alat kelamin.Hal ini sesuai dengan pernyataan Steinberg (1993) yang menunjukkan bahwa bukan berarti remaja yang melakukan seks pranikah dikatakan melakukan amoral atau free sex karena mereka belum tentu melakukan hubungan kelamin.

Media juga turut berpengaruh dalam perilaku seks pranikah. Kebanyakan remaja memperoleh pendidikan seks dari media yang menampilkan distorsi dari kegiatan seksual, dimana media hanya menghubungkan kegiatan seksual dengan kesenangan, ketertarikan, kompetisi, bahkan kejahatan tanpa menampilkan dampak negatif dari hubungan seksual yang beresiko. Hal ini ditunjukkan dengan sering terjadinya fenomena media yang berhubungan dengan perilaku seksual, seperti beredarnya VCD dan DVD porno, maraknya situs internet yang menampilkan gambar vulgar, dan masih banyak lainnya. Penelitian di luar negeri menunjukkan adanya pengaruh media terhadap perilaku seksual pada remaja (Peterson, Moore, & Furstenberg, 1991; Strasburger & Donnerstein, 1999 dalam Pratini, 2005). Pratini (2005) menggambarkan ada perbedaan penggunaan media antara laki-laki dan perempuan dalam menambah pengetahuan seksual, dimana laki-laki menonton DVD atau VCD porno, sedangkan perempuan mendapatkan melalui televisi. Selain itu, pria juga lebih aktif untuk mempraktekkan yang dilihat di film dibandingkan dengan perempuan. Hal ini ditunjukkan dengan sebagian besar responden pria merasa terdorong atau termotivasi untuk melakukan hubungan seksual setelah menonton/melihat pornografi (terangsang secara visual) dibandingkan dengan perempuan. Hal ini dapat disebabkan karena konsep diri sebagai pria yang lebih akif untuk memulai sesuatu terhadap pasangan dibandingkan dengan perempuan yang merasa tidak nyaman jika harus memulai lebih dahulu, khususnya dalam perilaku seksual (Pratini, 2005).
Penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa teman/peer group memiliki pengaruh yang cukup besar karena hampir semua responden mendapat informasi tentang media dari temannya, baik berupa film atau situs internet. Orang yang biasanya menemani menonton atau melihat pornografi atau pornoaksi adalah teman sendiri. Remaja umumnya merasa lebih percaya dan nyaman dengan temannya karena yakin temannya akan menjaga rahasia (Pratini, 2005).
Salah satu faktor yang cukup penting dalam perilaku seks pranikah remaja adalah pola asuh orang tua. Baumrind (dalam Safitri, 2005) menyatakan bahwa cara pengasuhan tertentu dari orang tua akan mempengaruhi pola tingkah laku anak dalam berhubungan dengan lingkungan. Perbedaan pola asuh ini juga diduga menyebabkan adanya pandangan berbeda pada remaja dalam memandang hubungan seks pranikah. Menurut Baumrind (dalam Safitri, 2005) ada tiga kategori utama dalam mengasuh anak, yaitu:

1.    Otoriter, dimana orang tua menggunakan aturan yang keras dan ketat untuk memaksa suatu tingkah laku yang diharapkan tanpa menjelaskan mengapa aturan itu penting. Apa yang dikatakan orang tua merupakan suatu keharusan.

2.    Demokratis, dimana orang tua menunjukkan adanya keinginan untuk menjelaskan dan berdiskusi tentang mengapa tingkah laku tertentu lebih diharapkan dari tingkah laku yang lain. Anak dilibatkan untuk membuat aturan meskipun orang tua yang memutuskan.

3.    Permisif, dimana orang tua kurang memberikan batasan yang jelas terhadap aturan-aturan atau tingkah laku mana yang harusnya ditampilkan dan mana yang tidak. Anak bebas mengatur tingkah lakunya dan membuat keputusan sendiri sedapat mungkin.

Berdasarkan penelitian Safitri (2005) melalui wawancara terhadap 2 kasus remaja putri yang melakukan hubungan seksual sebelum pernikahan, dapat dilihat bahwa kedua partisipan memperoleh pola asuh orang tua yang cenderung permisif, dimana orang tua tidak memberikan batasan yang jelas kepada kedua partisipan. Partisipan A memiliki fasilitas yang cenderung lengkap dan diberikan kebebasan pulang hingga larut malam. Bahkan ketika A melakukan hubungan cinta di rumah, orang tuanya pergi meninggalkan agar A dapat berduaan dengan pacarnya. Semua fasilitas A dipenuhi, namun orang tua A tidak memberikan respon terhadap semua kegiatan yang dilakukan oleh A. B juga mengalami hal yang sama semenjak ia kuliah dan jauh dari orang tua. Hubungan komunikasi B dengan orang tua hanya sebatas keperluan ekonomi saja. Mereka tidak pernah mendapatkan pendidikan seks dari keluarga. Mereka terlalu diberi kebebasan oleh orang tuanya untuk menentukan apa yang ingin dilakukan tanpa memikirkan konsekuensinya.

Mengapa seks edukasi menjadi penting karena seks edukasi membantu remaja untuk mendapatkan informasi mengenai perkembangan psikoseksualnya sehingga sesuai dengan usia biologisnya. Seks edukasi membantu remaja memahami tubuhnya dan perubahan hormon yang menyebabkan ia merasakan apa yang ia rasakan, yaitu hasrat seksualnya. Seks edukasi membantu remaja mensikapi hasrat seksualnya dengan lebih bijaksana bukan dengan menakut nakuti remaja.

Daftar Pustaka

 
Fitriani, R.R. 2005. Gambaran Sexual Ideology pada Pria Remaja Akhir yang telah Melakukan Premarital Sexual.Tidak diterbitkan.

Mawati, T.K. 2005.Sikap Permisif terhadap Perilaku Seks Pranikah pada Remaja: Analisis Perbandingan antara Sikap Permisif terhadap Perilaku Seks Pranikah pada Remaja Laki-Laki dan Perempuan. Tidak diterbitkan

Nirmadyani.2005. Berbagai Alternatif Pendidikan Seks dan Hubungannya dalam Penanggulangan Premarital Seks.Tidak diterbitkan.

Pingkan, C.B.R. 2005.Hubungan Pandangan Kelumrahan dan Sikap terhadap Hubungan Seks Pranikah pada Dewasa Muda.Tidak diterbitkan.

Pratini, W.W.S. 2005.Pengaruh Media terhadap Perilaku Premarital Seksual pada Remaja di Jakarta.Tidak diterbitkan.

Safitri, R.I. 2005. Gambaran Pola Asuh dalam Pertimbangan Anak Remaja Membuat Keputusan untuk Berperilaku Premarital Seks.Tidak diterbitkan.